Sangatta, POJOKDIGITAL.COM – Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DPPKB) Kutai Timur (Kutim) Achmad Junaidi B, menyampaikan pihaknya, tengah menggodok data angka stunting secara internal tim pelaksana TPPS atau Tim Percepatan Penurunan Stunting dan berencana koordinasi dengan menemui tim Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan RI di Jakarta bersama tim bidang terkait di Dinkes Kutim, agar memperoleh data by name by address (BNBA) yang diperlukan untuk program penanggulangan stunting di Kutim. Sebelumnya dua hari lalu sudah menyurat secara resmi ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Kutim.

“Data stunting ideal adalah data yang bisa dilacak BNBA, bukan hanya hasil survei acak. Tanpa data yang akurat, program penanggulangan stunting dikhawatirkan tidak tepat sasaran dan hanya akan membuang-buang anggaran,” ujar, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DPPKB) Kutim saat diwawancarai media Etensi.com belum lama ini di ruang kerjanya, Rabu (24/7/2024).

Junaidi menerangkan dampak data stunting yang belum jelas dan akurat bakal menjadi batu sandungan dalam upaya penanggulangan masalah gizi kronis.

“Kami membutuhkan data by name by address untuk pelaksanaan program penanggulangan stunting yang tepat sasaran,” imbuhnya.

Dikatakan Junaidi persoalan data stunting ini muncul dari perbedaan data yang diperoleh dari dua sumber. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 menunjukkan prevalensi stunting di Kutim mencapai 29 persen, sedangkan rata-rata Kaltim yang sebesar 22,9 persen. Namun, data dari e-PPBGM menunjukkan angka stunting yang lebih rendah, yaitu 16,5 persen di Kabupaten Kutim. Perbedaan ini diperparah dengan tak adanya data BNBA pada data SSGI, sehingga menyulitkan identifikasi anak stunting dan lokasi tempat tinggalnya.

“Kami ingin mengetahui siapa saja anak-anak yang stunting dan di mana mereka tinggal. Dengan data BNBA, kami dapat memberikan intervensi yang lebih terarah dan efektif,” jelas Junaidi sapaan akrabnya.

Disisi lain, orang nomor satu di Dinas PPKB Kutim itu membeberkan beberapa waktu lalu pihaknya melakukan uji petik di dua kecamatan di Kutim menemukan beberapa permasalahan di lapangan. Seperti ada anak yang baru berisiko stunting, bukan stunting. Alat ukur yang digunakan perlu ditera ulang atau rusak.

“Petugas posyandu belum terlatih dengan dalam mengukur dan menimbang anak, kemudian masih banyak balita yang tidak dibawa ke posyandu untuk diukur dan ditimbang,” tambahnya.

Permasalahan ini diyakini Junaidi sebagai salah satu faktor penyebab tingginya angka stunting di Kutim. Oleh karena itu, ia mendorong peningkatan kesadaran masyarakat untuk membawa anak dan ibu hamil ke posyandu. Hal ini membutuhkan inovasi baru dalam program edukasi dan promosi kesehatan.

” Dengan data yang lebih jelas dan program yang tepat sasaran, angka stunting di tanah tuah bumi untung benua dapat diturunkan secara signifikan,” tutupnya.

Senada, Hendery Casanova selalu Teknikal Asisten Satgas PPS Stunting Kabupaten Kutim, menyampaikan sumber data dari SSGI (survey status gizi Indonesia) atau SKI (Survey Kesehatan Indonesia) akhir tahun 2023 prevalensi stunting di kabupaten Kutim sebesar 29 persen.

“Sedangkan data resmi e-EPGM (system elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat) dari kemenkes RI terakhir bulan April 2024 sebesar 16,5 persen,” jelasnya.